Sunday, February 21, 2016

Cerpen cinta part 1

Bunyi sms itu ringkas tapi membuat Toni ketawa kecut, "Katakanlah, Ton. Apa sebab aku selalu merindukanmu. Padahal aku benci kamu!"

Malam telah semakin larut.
Di kejauhan terdengar suara burung hantu dalam kesendirian.

Rembulan muncul dari balik pepohonan. cahayanya terpancar di permukaan gerumbulan dedaunan. Diam-diam Toni melenguh. Dalam hatinya berkata, "Kalau rindu, aku juga begitu, Win. Tapi itu tidak menggugurkan fakta bahwa kita beda bak langit dan bumi. untuk apa bersama kalau kita selalu bertengkar?"

"Karena kamu tak pernah mau mengalah", begitu selalu jawab Winda. Ia ingin kekasihnya belajar mendengar dengan baik. Setelah paham baru membantah.

Tapi Toni berkilah, "Bukan aku tak mau mendengar. Aku hanya tak mau membiarkanmu mengembangkan jalan pikiran yang kacau. Justru karena aku sayang kamu. Kalau aku tak sayang, ngapain aku pusing-pusing. mau berpikir dengan cara apapun itu urusanmu!"

"Mengapa kebenaran harus selalu datang dari perspektifmu?"

"Sejauh itu menyangkut hal-hal yang harus dipecahkan dngan kepala dingin, ikuti caraku. Fokuslah pada reasoning. Setiap keputusan harus ada alasan rasionalnya. Kalau dia tak bisa memberikan alasan yang masuk akal, tinggalkan. Itu pasti produk emosimu. Emosi takkan pernah bisa menjelaskan apa-apa.

Pada suatu kali karena jengkel, Windah menyegah emosi.

"Oke, kalau begitu. dari dulu semestinya aku sudah meninggalkanmu. Karena dari dulu sampai sekarang, aku tak pernah bisa menjawab mengapa aku sayang kamu? Padahal bersamamu tiada hari tanpa pertengkaran. asal kamu tahu saja, Ton. Karena kuikuti emosiku itulah kita tetap bisa bersama sampai hari ini."

Itu dulu, dua tahun lalu.

Sekarang mereka sudah terpisah oleh jarak yang teramat jauh. Satu ke timur satunya ke barat. Winda pilih lari mengejar ke Udayana, Bali. Sementara Toni bekerja di Batam. Tapi semakin mereka saling menjauh, semakin kuat tikaman rasa rindu itu memancap ke jantung. Tiap kali bulan purnama muncul di langit. kesunyian segera merobek-robek hati mereka.

Sepi. Sunyi. Rindu Ingin bertemu.

"Kali ini aku paham -begitu bunyi SMS Toni suatu kali- ternyata tidak semua hal dari kehidupan ini bisa kudekati dengan rasio. Hati dan otak rasanya mereka datang dari kamar jiwa yang berbeda. "Aku juga rindu kamu, Win!"

"Kalau kamu rindu aku, kenapa kau tidak temui aku di Bali sekarang?"

"Ha, itu juga aku tak tahu. Sungguh, demi Allah aku rindu kamu, Win. Tapi kenapa aku tak segera meluncur ke tempatmu. Kali ini rasioku lumpuh. Aku bingung. Kalau kamu bisa melihatku, pasti kamu tertawa. Sedari sore tadi, aku mutar-mutar sendiri di rumah. Dari dapur ke kamar. Dari taman ke taman. Balik lagi ke dapur. Dari sore hingga larut malam begini. Kalau kakiku ada speedometernya, mungkin sudah setara 30 km aku mondar-mandir di tempat."

"Ha...ha...ha...." Winda terbahak keras di telpon.

"Kamu memang gila, Ton. Tapi jujur kuakui. Itulah yang sering membuatku tertawa tiap kali melihat tingkahmu. Kamu ini manusia dengan otak dewasa yang terperangkap hati anak-anak!"

Berkata begitu, Winda merasakan desir kuat di jantungnya. Seperti sepoi angin yang tiba-tiba nyelonong di tengah terik matahari. Winda teringat bagaimana Toni suka berfilsafat sambil tiduran di rumput. Disandarkannya kepalanya di pangkuan Winda. Tapi ketika dia akan berkomentar, mendadak terdengar seperti suara kodok keluar dari mulut Toni. tertidur pulas rupanya. Wajahnya polos bak bayi tak berdosa.

Didorong oleh panggilan keibuannya, tangan Winda membelai kening Toni.

#30DWC

No comments:

Post a Comment