Tuesday, February 16, 2016

KEPADA PEREMPUANKU

Perempuanku
Apakah kau tahu seberapa besar perasaanku padamu? Apakah sampai kepadamu segala desah yang kuembuskan dalam angin? Dan terasa di kedalaman batinmu tentang kerinduanku yang tak kunjung benar-benar bisa aku nyatakan?

Serupa ulat yang ditakdirkan memakan pucuk-pucuk dedaunan di sebuah padang rumput, aku harus melahap segala apa yang ada di depanku tanpa aku mampu memilih dan memilahnya. Detik demi detik aku lalui dengan pengembaraan dalam wujud peniadaan kepada segala. Menantang matahari yang tak pernah ramah, panasnya selalu dan semakin membakar rapuhku. Mendidihkan seluruh darah dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun. Aku menggelegak tanpa mampu mengelak.

Berdiri tegar menghadapi dingin dan gelap malam yang terkadang tanpa cahaya apapun. Jangankan rembulan, lintang bahkan sangat sering dia bersembunyi di balik kesenyapan. Kesenyapan … iya hanya kesenyapan yang melingkupi pengembaraanku.

Ketika musim tanpa belas kasihan siramkan hujan dari langit, aku hanya terpekur sendiri tanpa pegangan. Tiada yang peduli padaku. Ilalang dan semak tempatku menggelantung, semuanya bertempur, berjuang agar tak koyak, tak roboh, dan tidak terhempas terhumbalang ke bumi. Semuanya memikirkan nasibnya sendiri.

Perempuanku
Sungguh aku sangat sering di ombang ambingkan keraguan. Aku ragu pada diriku sendiri. Ragu pada inderaku sendiri, ragu pada keberadaanku sendiri, pun aku ragu dengan perasaaanku sendiri.

Lalu datang kabar dari langit, sudah waktunya ragaku masuk ke gua pertapaanku. Tapi di mana? Tidak ada petunjuk apapun yang bisa kujadikan pedoman. Apakah aku harus ngampung sama tikus yang membuat liang dekat batu di tepi sungai? Ataukah aku pinjam lubang cacing yang pengab itu? Sungguh kebingungan ini mendekapku tanpa ampun. Kegamangan menarik seluruh daya ciptaku pada titik nadir terendah. Seperti dilempar ke dalam jurang yang teramat dalam.

Dengan keberanian yang datangnya dari negeri antah berantah, perlahan aku bangkit dari ketidakberdayaan. Aku mencari ranting paling tinggi. Merayap perlahan, kemudian menggelantung, menyelimuti diriku sendiri dengan air liurku sendiri, memintalnya menjadi benang tipis yang rapuh.

Perempuanku
Sungguh kesakitan tak pernah memberiku jeda untuk sekedar menghela nafas. Waktu mendesak dan membuatku seperti binatang buruan. Tak ada kata berhenti dan istirahat.
Sisa-sisa kepatuhan dan kepasrahan menuntun diriku menganyam benag-benang itu menjadi rumah yangbaru dan asing. Sungguh sangat asing dan gelap. Aku terpisah dari seluruh keindahan dunia luar. Betapa sepinya hidup. Suara-suara hanya terdengar lirih dan lirih. Gelap perlahan mengurungku dalam wujud nyata yang tiada tara. Pengasinganku dimulai.

Setelah sekian lama meringkuk dalam sepi tanpa tepi, tiba-tiba cahaya menyeruak. Gua pertapaanku robek, pecah! Sinar matahari begitu menyilaukan mataku. Aku bertanya dalam hati: ada apa lagi? Apakah masih belum cukup pantas segala kesakitan yang sudah aku jalani? Apakah masih kurang pertapaan dan pengasingan? Apakah pengorbanan dengan menjalani keping demi keeping kepedihan masih belum cukup? Semua diam, tiada jawaban yang bisa menerangkan segala duga prasangka dalam dadaku.

Perempuanku
Begitu lemah tubuhku setelah beribu detik menyepi, bertapa dalam kesunyian yang teramat panjang. Masihkah ada yang peduli padaku?

Aku kerjabkan kedua mataku, mencoba membiasakan pandangan dengan segala hal yang baru. Ada suara-suara yang mendengung di telingaku, tetapi terlalu samar untuk bisa aku pahami sepenuhnya. Dan aku temukan sepasang sayap tumbuh di tubuhku. Ah, aku terpana. Mencoba mengeja siapa sebenarnya aku. Mencoba menebak dan mencari tahu wujudku yang sebenarnya.

Lantas angin membelai penciumanku dengan laksaan aroma yang dulu tak pernah bisa aku tahu macamnya. Sungguh aku ingin menghirup segala wangi itu dan mengalirkannya ke dalam tubuhku, dan berharap tubuhku mampu menerjemahkannya menjadi energy kehidupan yang baru.

Perlahan aku menggerakkan kedua sayapku. Mengepakkannya dengan hati-hati. Belajar berkompromi dengan angin dan menunggangi angin. Molekul-molekul kegembiraan berdesakan di seluruh tubuhku.

Perempuanku
Ribuan warna dan aroma terhampar di hadapanku. Jutaan bunga mekar kelopaknya, menawarkan seribu kesenangan dalam wujud yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku terbang menjelajahi padang luas itu. Sekarang semuanya telah berubah. Semua tumbuhan telah mengeluarkan bunga mereka masing-masing. Meruarkan berbagai macam aroma yang sungguh sangat menggoda.

Ah, tidak aku tidak menginginkan mawar itu. Dia terlalu genit dandanannya. Duri-durinya selalu saja siap sedia melukai siapa saja yang berani mendekatinya. Kelopaknya pun terlalu rapuh untuk sekedar dipegang.

Aku juga tidak menginginkan seruni itu. Terlalu angkuh dia berdiri. Semarak warnanya tak pernah benar-benar sanggup sajikan keindahan. Kelopaknya selalu saja sediakan jebakan bagi siapa saja yang berani menghisap sari hidupnya.

Kamu… iya hanya kamu yang aku inginkan. Bunga melati di rerimbunan daun yang menghijau. Tersembunyi dari jangkauan tangan-tangan nakal cuaca. Kelopakmu adalah warna kesucian semesta.

Iya kamu, tempatku memuja Sang Maha Segala.
Menuju altar nirwana


The End

#30DWC

2 comments:

  1. Kuereeeen mas.
    Puitis sang melankolis.:)

    Ditunggu puisi2 berikutnya mas

    ReplyDelete
  2. Kuereeeen mas.
    Puitis sang melankolis.:)

    Ditunggu puisi2 berikutnya mas

    ReplyDelete